Rumah maya Readinc

Just another WordPress.com weblog

Archive for the ‘Sosok’ Category

sosok

Posted by readinc pada Juni 26, 2008


Seringkali orang menganggap sains dan sastra adalah dunia yang terpisah, bagai minyak dan air. Orang melihat sains sebagai bidang yang dingin, begitu mengagungkan fakta dan logika. Ada batasan dan aturan yang jelas dan kaku dalam sains. Sebaliknya, sastra dianggap sebagai bidang yang lebih mengedepankan imajinasi. Keliaran ide seorang sastrawan membuat sebuah karya sastra mengembara ke dunia antah berantah, penuh gelora, seringkali melintasi batas yang memang sudah tak jelas dan kerap kali tak tunduk pada logika umum yang berlaku.

 

Benarkah kedua dunia tersebut memang benar terpisah ? Orang mungkin mengenal karya-karya science fictions yang bisa mendamaikan kedua dunia tersebut, seperti karya-karya Michael Crichton. Jauh sebelum Michael Crichton, ada sosok yang juga mampu menggabungkan dunia sains dan sastra. Nama orang itu adalah H.G. Wells.


Siapa Wells?


Dia putra sepasang suami istri dari kelas pekerja. Sepertinya Wells ditakdirkan akan menjadi buruh rendahan juga seandainya saja ia tidak memenangkan beasiswa ke Normal School of Science – sekarang dikenal sebagai Imperial College di London.
Salah satu pendiri Normal School of Science adalah Thomas Huxley – kakek penulis Aldous Huxley dan biolog Julian Huxley. Kita mungkin kenal Thomas Huxley dari julukannya, ‘Bulldog Darwin’, karena ia merupakan salah seorang pendukung Darwin paling keras dan paling setia.


Selain seorang biolog, Huxley juga merupakan seseorang dengan prinsip-prinsip sosial yang cukup revolusioner pada zamannya. Ia mendorong emansipasi perempuan dan kulit berwarna untuk ikut belajar di perguruan tinggi. Normal School of Science menerima mahasiswi-mahasiswi perempuan, ketika perguruan-perguruan tinggi lain di zamannya sebagian besar masih menolak kehadiran perempuan. Wells sangat mengagumi Huxley sang mentor. Banyak pandangan Wells yang tampaknya diserapnya dari Huxley. Di perguruan tinggi itu, Wells mempelajari biologi dan lulus dengan nilai memuaskan. Ia sebenarnya hendak menjadi guru, namun karir mengajarnya itu tamat akibat ginjalnya cedera setelah ia tertendang oleh muridnya dalam pertandingan sepakbola. Dan sejak saat itulah karir menulis Wells dimulai.


Uniknya, Wells tidak lantas berhenti dari dunia sains. Malah latar belakang pendidikan sainsnya itulah yang menyebabkan ia mampu menghasilkan karya-karya sastra yang hebat.
Wells memang terkenal berkat karya-karyanya yang saat ini digolongkan sebagai ‘science fiction‘, seperti War of the Worlds, The Invisible Man, The First Man in the Moon, The Island of Doctor Moreau, dan lain sebagainya. Percaya atau tidak, karya yang dihasilkan Wells lebih dari sekedar sebuah karya sastra.

 

Tengoklah bagaimana War of the Worlds adalah sebuah peringatan bagi keangkuhan manusia. Betapa kecilnya manusia sebenarnya dibandingkan alam ini. Dan betapa hebatnya akhir yang diberikan Wells, tak seperti film-film Hollywood yang biasanya menyerahkan penyelamatan Bumi kepada segelintir orang Amerika – justru makhluk-makhluk kecil yang sering dianggap remehlah yang menghancurleburkan para penyerbu dari Mars.

 

 

The Invisible Man dianggap sebagai salah satu perwujudan pembahasan nilai-nilai nietszchian pertama di Inggris. Bahkan Wells adalah orang pertama di Inggris yang memberikan perhatian serius pada Nietszche!

Dalam The Sleeper Wakes, ia menggali apa yang mungkin terjadi ketika kapitalisme meraja sehingga justru mengarah pada totalitarianisme.

Wells tidak hanya menulis science-fiction. Ia juga menulis buku-buku daras biologi (gelar doktornya diperolehnya dalam bidang biologi). Ia juga seorang pengamat dan pemerhati sosial, dan sejumlah buku (termasuk novel) yang ditulisnya sesungguhnya bertema sosial, yang menyuarakan dukungannya terhadap orang-orang yang tersingkir dan keyakinan Wells akan sosialisme. (Wells bahkan pernah beranggapan bahwa dirinyalah satu-satunya sosialis sejati yang tersisa di dunia.). Perhatian Wells akan nasib rakyat ini membuatnya menjadi penghubung generasi antara Charles Dickens dan George Orwell. Beberapa novel Wells yang mengusung tema sosial adalah Ann Veronica (emansipasi perempuan, kebebasan perempuan untuk memilih); Kipps (perjalanan hidup seorang anak miskin, nyaris terasa otobiografis) ; Love and Mr Levisham; The New Machiavelli; dan lain sebagainya.


Wells juga produktif sekali menulis cerpen. Banyak di antara cerpennya yang benar-benar merupakan terobosan. Ada yang bertema religi, sains, sosial, dan sebagian di antaranya bahkan mengantisipasi lahirnya genre ‘magic-realism‘ .


Wells juga seperti seorang ‘peramal’, yang berkat ketajamannya mengamati sains dan perkembangan sosial dapat ‘meramalkan’ temuan-temuan manusia di masa depan, seperti pesawat, perjalanan ke Bulan, dan lain sebagainya. Ia juga berulang kali mengutarakan
visinya tentang kemungkinan pecahnya perang dunia di masa depan. Namun Wells dilanda kebingungan tersendiri. Ia percaya teknologi bisa menyelamatkan manusia, tapi pantaskah manusia diselamatkan? Ia hidup cukup lama untuk menyaksikan ‘ramalan-ramalan’ -nya menjadi kenyataan: mesin-mesin perang, pesawat-pesawat tempur, perang
besar-besaran
. Pemikiran-pemikiran Wells masih tetap relevan sampai sekarang.

 

Paparan panjang lebar ini sedikit banyak bisa memaparkan bukti bahwa dalam diri Wells, sastra, sains, dan bidang-bidang lain bukanlah hal yang perlu dipertentangkan atau dikotak-kotakkan dengan tajam. Semua bidang yang digeluti Wells justru membangunnya menjadi seseorang yang serbabisa, tajam, cerdas, dan berwawasan luas.


Hasil karyanya melimpah ruah. Dalam dua puluh tahun terakhir hidupnya saja, ada sekitar 40 buku dengan berbagai subjek yang dihasilkannya. Setidaknya ada 150 buku dan pamflet yang telah ditulisnya.

 

(dikumpulkan dari berbagai sumber)

Posted in Sosok | Leave a Comment »