Rumah maya Readinc

Just another WordPress.com weblog

Archive for Juli, 2008

IPUNG

Posted by readinc pada Juli 28, 2008


Lelaki ini bernama Ipung, seorang pelajar berasal dari kota kecil kepatihan di daerah Solo. Saat ini dia belajar di salah satu sekolah ternama di kota Semarang. Kehidupan kota yang keras dan berliku memang jauh beda dengan kehidupan di desanya. Ipung harus bisa bertahan dikota ini bagaimanapun caranya, tetapi tetap dengan mempertahankan harga dirinya. Di sekolah itu Ipung bertemu dengan seorang gadis bernama Paulin yang begitu menarik perhatiannya. Paulin yang terkenal sebagai wanita paling sempurna di sekolah itu, cantik, cerdas, bergelimpangan materi, dan disayang para guru. Wanita ini dapat meluluhkan hati para pria yang dekat dengannya. Tetapi tidak bagi Ipung, seberapa hebatnya Paulin, Ipung tetap tidak tergoda. Paulin pun tidak habis pikir, dimanakah letak kesalahannya? Banyak pria yang mengidam-ngidamkan agar dapat dekat dengannya, tetapi mengapa lelaki dekil dari desa yang tidak tampan dan kaya itu tidak tergoda oleh pesonanya sama sekali.
Walaupun novel ini berkisah tentang kehidupan pelajar di kota, tetapi tetap tidak klise seperti novel-novel remaja pada umumnya. Karakter Ipung yang cerdas, sopan,cuek, keras dan mandiri ini sangat mempengaruhi konflik yang ada di dalam buku. Alur cerita yang ringan dan tata bahasa yang sederhana membuat novel ini mudah dimengerti pembaca. Sang novelis kenamaan di Indonesia, Habiburrahman juga ikut menyumbang sepenggal tulisannya di novel ini.
Vmie_Read!nc Crew

Posted in Uncategorized | Leave a Comment »

RESENSI BUKU : KELILING EROPA 6 BULAN HANYA 1000 DOLAR

Posted by readinc pada Juli 22, 2008

Judul : Keliling Eropa 6 Bulan Hanya 1000 dolar
Penulis : Marina Silvia K.

Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2008
Tebal : 267 hal

 

Sumpah ! Saya langsung luar biasa blingsatan begitu pertama kali membuka halaman buku ini. Saya bahkan terpaksa menenangkan diri dengan segelas besar es kacang hijau di dekat alon-alon kota (sebenernya memang sedang pengen aja sih ! heheh). Bayangkan, orang yang menulis buku ini adalah orang yang pernah dekat dengan saya !! Eiittt… jangan terburu curiga dengan saya.

Penulis buku ini adalah Marina Sylvia yang dulu sempat jadi teman sekelas saat di bangku kuliah.  Kenyataan bahwa teman sendiri sudah berhasil keliliing eropa dan menghasilkan sebuah buku lah yang seketika berhasil membuat lubang besar menganga dalam diri saya. Luar biasa !! Entah kenapa, tiba-tiba ada ledakan rasa bangga yang bercampur rasa iri. Tak ayal, saya langsung misuh-misuh tak karuan. Ahh jangan salah sangka dulu. Untuk orang jawa timuran yang kasar seperti saya, misuh juga bisa berarti kegembiraan. Macam orang India dengan tarian dan nyanyiannya. Senang atau sedih, tetap saja mereka berdendang sambil menari mengelilingi tiang listrik hehehe

Segera saya baca isi buku ini. Saya harus mengatakan terkesan dengan komitmen mbak Marina dalam menyesuaikan isi dan judul bukunya. Banyak buku yang pernah saya baca terkesan “menipu”, karena isinya tidak seseksi yang digambarkan dalam judul. Seperti pepatah bilang, Don’t judge the book by its cover. Buku ini berbeda karena sesuai judul, isinya adalah sebuah know-how, petunjuk bagaimana mewujudkan impian berkeliling eropa. Ketika saya sebut “petunjuk”, seharusnya anda boleh berharap mendapatkan tips& trik nyata tentang pergi ke eropa. Mbak Marina cukup baik membagikan pengalamannya tentang bagaimana mempersiapkan sampai bagaimana kita bisa survive disana dengan dana yang terbatas. Beliau bahkan menambahkan 13 alasan kenapa kita harus traveling buat mereka yang masih ragu-ragu. Setelah semua tips persiapan dibeber, tentu saja kemudian mbak Marina menceritakan pengalamannya selama backpacking disana, lengkap dengan hasil jepretan fotonya sendiri. Inilah yang menarik. Dengan menggunakan gaya menulis story-telling layaknya mengisi jurnal harian, mbak Marina memulai catatannya dari garis start : Frankfurt, Jerman.

Dari awal, akan terasa betul perbedaan buku ini dengan buku catatan perjalanan lain semacam “Naked Traveller”-nya mbak Trinity yang ceria atau “Journey”-nya Gola Gong yang, meminjam tag-line sebuah produk permen, ‘rame rasanya!’. Membaca jurnal mbak Marina, dengan mudah kita akan merasa bahwa ini adalah sebuah kontemplasi. Dari awal memang mbak Marina menegaskan bahwa hal krusial bagi orang negeri kita untuk hidup di eropa adalah masalah cultural shock. Keterbukaan pemikiran dan diskusi antar budaya lah yang dijadikan racikan utama jurnal perjalanan ini. Setiap bagian dalam buku ini menunjukkan jelas kecerdasan mbak Marina. Soal deskripsi keindahan dan cerita-di-balik-lokasi yang dikunjungi sih sepertinya lebih banyak diserahkan pada hasil jepretan gambar kamera digitalnya. Buat yang malas berpikir, mungkin materi dialog dan cover story-nya terasa agak berat. Ini bisa jadi kelemahan buat pembaca Indonesia yang mayoritas lebih menyukai hal yang ringan (bukan berarti orang Indonesia bodoh lho ya !). Itu semua mungkin didasari oleh karakter/latar belakang sang penulis dan suasana yang mendukung saat itu. Itu semua harus dihargai karena toh kita juga bisa mendapat manfaat dari dialog antar budaya yang terjadi. Saya bahkan mendapat pengetahuan baru bahwa kebanyakan orang eropa memiliki kecenderungan atheis (tak heran kan kalau partai komunis juga tumbuh di tanah eropa yang, anehnya, seringkali memaksakan penghapusan komunisme di negara dunia ketiga). Untungnya juga, mbak Marina tak lupa menyelipkan laporan pengeluaran keuangan sehingga kita juga bisa mengkonfirmasi bagaimana bisa seorang wanita berkelana sendiri di dunia yang tak dikenal dengan dana yang sangat minim.

Pada bagian pengantarnya, mbak Marina telah menerangkan bahwa buku ini hadir dari catatan harian yang selama ini ada di blog friendsternya. Tak heran jika gaya penulisannya pun sepenuhnya terserah si penulis. Dengan gaya yang cerdas, agak sedikit beraroma formal ditambah dengan pemilihan font yang relative kecil, menjadikan kesan akademis menguar kuat dari buku ini. Untungnya, banyak ornamen-ornamen yang diletakkan disana-sini yang setidaknya membuat buku kelihatan lebih “manis”. Kesimpulan akhirnya, buku “taktis” ini memang sangat perlu untuk dibaca dan bakal sangat berguna buat semua, minimal untuk menambah wawasan kita. Terlebih lagi bagi siapapun yang punya obsesi menjadi seorang backpacker keliling eropa. Mbak Marina sudah meyakinkan bahwa itu semua adalah hal yang mungkin. Jadi, mulailah membaca dan siapkan diri kita untuk menjemput sebuah petualangan baru di negeri kaum mata biru…

 

By : Farisol – ReadincCrew

Posted in Apresiasi & Resensi | Leave a Comment »

RESENSI BUKU : ANTOLOGI KEKELIRUAN

Posted by readinc pada Juli 22, 2008

Judul : Antologi Kelirumologi
Penulis : Jaya Suprana

Penerbit : PT. Elex Media Komputindo
Cetakan : I, 2005
Tebal : 186 hal 

 

 

Apa yang terbayang di kepala anda saat mendengar nama Jaya Suprana ? mungkin ada 1 kata yang bisa menggambarkannya : aneh !

Sebagai pendiri & penggiat MURI, orang melihat beliau  selalu bergelut dengan hal-hal yang aneh. Dengan dedikasi beliau sampai saat ini terhadap keanehan, tampaknya itu tak lepas dari karakter beliau yang humoris dan lain daripada yang lain. Selain MURI, beliau juga sangat giat “mempromosikan” keahlian lainnya dalam “ilmu-aneh” yang disebutnya sebagai kelirumologi. Dari katanya, tergambar bahwa “ilmu-aneh” ini berkaitan erat dengan kekeliruan. Yakk, kelirumologi memang “mengurusi” fakta-fakta keliru yang sudah terlanjur salah kaprah dianggap benar di masyarakat. Nahh, jika kemudian anda menjumpai sebuah buku tentang kelirumologi yang ditulis oleh seorang bernama Jaya Suprana, apa yang ada di benak anda ? menurut saya, pastinya adalah super aneh, super lucu dan super menarik ! Kenapa ? karena kelirumologi ditulis sendiri oleh pakar dan pelopornya !!

Kesan pertama saya pada buku ANTOLOGI KELIRUMOLOGI ini adalah isinya yang “padat”. Selain untuk cover dan daftar isi, tak banyak halaman yang digunakan untuk “basa-basi”. Halaman selebihnya didekasikan penuh untuk sajian utama buku ini yang terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok data kelirumologi (123 artikel) sedang yang kedua adalah kelompok naskah kelirumologi (23 artikel). Perbedaan keduanya ada pada panjang-pendeknya bahasan kelirumologi. Dimulai tentang kelirumologi yang dibuat bapak-bapak bangsa ini dalam naskah proklamasi, berbagai fakta-keliru pun digulirkan. Ada yang menyoal tentang kekeliruan asumsi masyarakat awam tentang bunglon yang berubah warna, rasisme mantan raja catur dunia, nama kota di Amerika yang membuat bingung, prasangka orang Amerika yang menyangka bahwa Kama Sutra adalah  nama sebuah restoran hingga peristiwa kekeliruan yang kemudian ternyata membawa berkah. Tak  lupa, Jaya Suprana juga menyelipkan sindiran bagi para politikus negeri kita yang memang sudah terkenal sebagai gudangnya kelirumologi. Mulai dari catatan menggelikan tentang “keanehan” calon menteri saat jaman Pak Harto hingga pernyataan plin-plan para tokoh bangsa masa kini yang suka menjilat ludah demi kepentingannya sendiri.

Secara keseluruhan, memang kumpulan artikel ini menampilkan berbagai fakta yang seringkali belum saya tahu dan menggelikan. Tak boleh tidak, saya harus angkat topi pada kegemaran Jaya Suprana dalam mengumpulkan fakta-fakta aneh. Namun, seperti yang disampaikan Jaya Suprana dalam pengantarnya, buku ini boleh jadi juga tak lepas dari kekeliruan. Itulah “aneh”nya kelirumologi, karena yang benar bisa jadi keliru, sebaliknya yang keliru pun terkadang adalah sesuatu yang benar. Sangat menarik sebenarnya. Sayangnya, yang agak mengganggu adalah pengemasan buku ini yang terkesan asal jadi. Untuk sebuah buku yang menarik, cara penyampaian buku ini tak terlalu menarik. Jika melihat tampilan layoutnya, buku ini lebih mirip diktat kuliah dari dosen. Isinya pun sepertinya asal tempel saja. Tak jelas kenapa bisa seperti itu. Nama besar Elex Media Komputindo rasanya tak sebanding dengan hasil akhir buku ini. Mungkin itu sebabnya buku ini jadi biasa-biasa saja. Mungkinkah penyebabnya adalah ketergesaan dalam penyusunan mengingat buku ini dimaksudkan untuk mengiringi Kelirumologi Award yang diadakan saat itu ? Hanya penerbitnya yang bisa menjawab. Buat pembacanya, yang bisa dilakukan adalah menikmati buku ini apa adanya. Bukan begitu ??

Posted in Apresiasi & Resensi | Leave a Comment »

RESENSI BUKU : SERATUS KIAT, JURUS SUKSES KAUM BISNIS

Posted by readinc pada Juli 6, 2008

Judul : Seratus Kiat, Jurus Sukses Kaum Bisnis
Penulis : Bondan Winarno
Penerbit : Pustaka Utama Grafiti
Cetakan : VI, Agustus 1991
Tebal : xv + 277 hl ; 19 cm

Suatu siang saya sedang berada di READINC, tempat persewaan buku favorit saya di Surabaya (punya sendiri sih…hehehhe). Tak sengaja mata saya menumbuk sebuah buku bersampul hijau. Agak lusuh fisiknya. Dari tampilannya, jelas itu adalah sebuah buku lama. Desain covernya pun kesannya kurang catchy. Sama sekali tak kelihatan menarik jika saja saya tak melihat sebuah nama yang tertera di cover buku tersebut. Nama itu adalah Bondan Winarno yang ternyata adalah pengarang buku tersebut. Saya agak ragu dengan nama itu, maka saya pun membolak-balik halaman buku itu. Akhirnya saya lihat foto sang pengarang di cover belakang. Sesuai dugaan saya, foto itu adalah versi jadul dari Pak Bondan yang kita kenal sekarang dengan ucapannya, “Mak nyus..!!!”

Berkat acara di TV, nama pelopor situs jalansutra.com itu kini memang dikenal sebagai seorang ahli makanan. Saya selalu memaki-maki tiap kali pak Bondan dengan gayanya yang khas sedang mengomentari makanan yang sedang dicicipinya. Bukan apa-apa, tapi perut saya selalu akan menjerit-jerit minta diisi setelah melihat tayangan itu. Enak banget memang pak Bondan yang kerjanya jalan-jalan sambil mencicipi berbagai makanan. Nama beliau pun mulai disinonimkan dengan makanan. Surprisingly, buku yang saya temukan sama sekali tidak membahas tentang keanekaragaman kuliner nusantara. Memang ada sedikit unsur jalan-jalan yang diceritakan, tapi buku ini sejatinya adalah sebuah buku manajemen !

Buku seratus kiat ini berisi kumpulan tulisan Pak Bondan yang pernah dimuat di majalah Tempo sekitar era pertengahan 80-an. Pak Bondan setahu saya tak memiliki background formal di bidang manajemen. Beliau bahkan sempat beberapa kali gagal dalam upaya pendidikannya. Karena itu, kumpulan tulisannya memang tidak dimaksudkan sebagai sebuah diktat tentang teori ekonomi atau managerial. Artikel yang ditulis Pak Bondan lebih bersifat tips & trik manajemen on daily basis. Istilah Goenawan Muhammad, pemred Tempo saat itu, real life situation. Isinya adalah bedah kasus manajemen ala editorial sebuah majalah.

Meskipun judulnya adalah seratus kiat, tapi buku yang saya pegang hanya berisi 60 artikel. Sisanya mungkin akan ditampung dalam buku lain yang merupakan bagian kedua dari Seratus kiat. Artikel-artikel tersebut dibagi menjadi 7 bagian / tema : Savoire-faire, komunikasi, motivasi, inovasi, efisiensi, korporasi, dll. Bagian pertama bercerita tentang berbagai kebiasaan yang ada di dunia manajemen. Ada artikel yang membahas soal bagaimana bersikap pada keluarga dan karir. Artikel lain menyoal tradisi orang jepang dalam berbisnis.

Bagian kedua jelas berkutat dalam judul besar : komunikasi. Secara khusus, Bondan membahas tentang komunikasi bisnis dan bagaimana kita semestinya harus mengomunikasikan diri dan ide kita. Ada bahasan soal kekuatan kata maaf, contoh kasus perusahaan yang secara ceroboh mengabaikan aspek komunikasi ataupun bagaimana mengoptimalkan diri kita dalam upaya mendongkrak suatu produk.

Bagian ketiga adalah giliran artikel-artikel mengenai motivasi. Bagian ini menunjukkan arti penting motivasi bagi sebuah bisnis. Bukan hanya melulu soal motivasi seorang bawahan, tapi juga mengulas sikap eksekutif atas lingkungannya serta komitmen kita pada pekerjaan yang sedang dilakukan. Nilai terpenting menurut saya adalah bahwa untuk membuat orang mengikuti keinginan kita, terlebih dahulu harus kita tata diri sendiri agar mencerminkan apa yang kita inginkan tersebut. Bahasa sederhananya adalah keteladanan.

Dalam bagian Inovasi yang merupakan bagian keempat, pak Bondan tidak bercerita tentang kecanggihan teknologi sebagai bagian dari inovasi bisnis. Alih-alih, beliau malah menyorot pada konsep yang saya sebut sebagai re-innovation. Sebutan itu mengacu pada upaya untuk kembali ke cara yang lama untuk berinovasi. Sepertinya agak terbalik, tapi pak Bondan menunjukkan bahwa itu adalah suatu konsep yang sangat do-able.

Selanjutnya, pak Bondan bicara tentang efisiensi. Poin terpenting yang disorot oleh beliau adalah mengenai attitude dalam melaksanakan kegiatan bisnis keseharian. Pak bondan juga menyarankan penyederhanaan berbagai langkah bisnis. Tak kalah pentingnya, tentu adalah masalah kedisiplinan yang menjadi dasar dari suatu upaya efisiensi.

Untuk tema korporasi, pak Bondan memilih bahasan dalam sudut pandang lebih luas, yaitu mengenai keputusan dan attitude korporasi dalam dunia bisnis. Ada bahasan soal kesejahteraan karyawan, pajak, citra, merger hingga pengaruh dari korporasi bisnis di masyarakat.

Selain keenam tema di atas, pak Bondan menempatkan artikel lain yang tidak tertampung ke dalam sebuah bagian berjudul : dll . Dari judul tersebut, jelas tergambar bahwa isinya tentulah gado-gado. Artikel dalam kelompok ini berjumlah 8 buah : 2 artikel tentang pendidikan managerial, 1 buah tentang peran pemerintah, 1 buah soal prilaku fanatisme, sebuah tentang fenomena bank keluarga, sebuah lagi tentang financial, dan 2 artikel terakhir mengenai tata krama saat berhubungan dalam suatu komunitas.

Saya harus mohon maaf bila review saya membuat buku ini terlihat ‘berat’. Harus saya katakan, buku ini benar-benar bacaan ringan dan amat mudah untuk dimengerti. Meski begitu, isinya tetap berbobot. Sebagai gambaran, anda mungkin bisa merujuk gaya bahasan dalam kumpulan artikelnya pak Hermawan Kertadjaya, Rhenald Kasali atau Kaffi ’si jabrik’. Caranya bertutur cukup renyah layaknya kita membaca celotehan dalam suatu blog di masa kini. Hebatnya, meski tulisan ini sudah berumur hampir sama dengan umur adik saya, konsep dan isinya sama sekali tidak basi. Kita masih bisa dengan jelas melihat relevansi tulisan pak Bondan dengan keseharian sekarang ini. Kalau saya punya kesempatan mengomentari langsung buku ini dengan pak Bondan, saya akan bilang pada beliau :

“Maknyuss.. pak !”

By : Farisol – ReadincCrew

Note : tulisan ini juga ada di Blog pribadi : Farisol.wordpress.com

Posted in Apresiasi & Resensi | Leave a Comment »

RESENSI BUKU : TURQUOISE

Posted by readinc pada Juli 6, 2008

Judul : Turquoise
Penulis : Titon Rahmawan

Penerbit : Penerbit Escaeva

Cetakan : I, November 2007
Tebal : xiii+412
hl ; 13,5 x 20,5 cm 

Kata orang, kalau mau menulis novel, mulailah dari hal yang paling kita ketahui. Karena itu, wajarlah jika sebagian besar karya sastra Indonesia berlatar belakang negeri kita sendiri. Belakangan memang muncul karya-karya dengan latar belakang negeri orang, seperti yang banyak terjadi pada genre Chicklit/Teenlit. Tapi settingnya hampir selalu ada di negeri orang bule. Selain itu, Novel-novel islami banyak mengambil setting negeri arab. Contohnya semacam “Ayat-Ayat Cinta” yang fenomenal itu. Hal itu mungkin dilatarbelakangi oleh sejarah genre itu sendiri. Karena itu, saya agak kecele saat melihat sebuah buku dengan judul dan grafis yang bernuansa arab. Sangka saya, buku ini tentu karya sastrawan arab yang belakangan banyak membanjiri dunia buku tanah air. Meski tertulis nama pengarangnya di sampul buku, saya malah mengira itu bisa saja penerjemahnya. Isinya saya perkirakan sarat dengan nilai dakwah islam. Ternyata saya salah. Novel ini berbeda.

Ada 3 kesalahan sangka saya pada buku ini. Pertama buku ini adalah asli buatan anak negeri sendiri. Kedua, meski kental bernuansa agamis, tapi buku ini tak menyajikan secara eksklusif nuansa dakwah islamiyah. Lebih banyak yang tergambar adalah warna sufistik yang ringan tapi dalam. Ketiga, ternyata buku ini adalah bagian dari sebuah trilogy. Wahhh….. ini pasti seru !

Benar saja, buku ini memang worth it ! Dengan mengusung gaya epic saja, buku ini sudah berada di jalur buku langka karya anak negeri ini. Kebetulan, saya sedang gandrung pada buku bergenre seperti ini.

Inti cerita novel ini adalah seputar kisah heroic seorang pemuda suku Rabihi bernama Husayn Bashemi. Settingnya berada di sebuah kota bernama Makarresh. Kisah dalam buku ini diwarnai dengan bahasa yang halus, puitis dan bernafas sufistik. Ceritanya juga dibalut dengan romantisme dan nilai-nilai persahabatan.

Bak sebuah cerita 1001 malam, kisah dibuka dengan seorang pendongeng yang menceritakan sebuah dongeng tragis. Kisah itu berkenaan dengan nasib seorang pemuda anak pelayan bernama Husayn Bashemi yang berasal dari suku Rabihi. Semenjak kecil, Husayn bersahabat dengan 3 orang yakni, Hasyim, seorang anak pelayan lain, Qadrii, anak kepala kampung dan Safira, putri satu-satunya dan permata di keluarga kaya majikan Husayn. Persahabatan diantara keempat orang itu ditandai dengan 4 keping pecahan sebuah batu Turquoise atau batu pirus sebagai lambang persahabatan.

Orang jawa bilang, ‘Tresno jalaran soko kulino‘. Itu pulalah yang terjadi pada persahabatan 4 orang tersebut. Seiring bergulirnya waktu, muncullah benih rasa cinta di hati Husayn, Hasyim dan Qadrii kepada Safira. Menyadari persaingan diantara para sahabatnya, Safira merasa sedih dan serba salah. Namun dia tak bisa membohongi dirinya yang telah memilih Husayn sebagai pilihan hati. Mengetahui itu, Husayn pun senang bukan kepalang. Sayangnya mereka dipisahkan oleh status mereka sebagai majikan & pelayan,dan juga perbedaan keyakinan/agama. Dalam waktu bersamaan, pinangan Qadrii diterima oleh orang tua Safira. Mengetahui kenyataan itu, Safira akhirnya membuka rahasia hatinya pada kedua orang tuanya. Tentu saja orang tua Safira tak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya mencintai seorang pelayan. Imbasnya, Husayn dan orang tuanya diusir dari rumah Youssef. Hati Safira dan Husayn pun remuk redam karenanya. Sebelum berpisah, Safira memaksa Husayn untuk kembali dan menjemputnya suatu saat nanti.

Peristiwa itulah yang menjadi titik balik pusaran badai kisah itu. Husayn dan Hasyim bergabung dengan ‘askari, prajurit kota. Sementara itu, Safira memutuskan untuk mengabdikan hidupnya pada kaum miskin hingga dia kemudian terkenal dengan julukan ’sang dewi’ atau ‘Sang Mawar Suci dari Sharbanu’. Di lain pihak, Qadrii yang sakit hati karena ditolak Safira pun mulai menyimpan dendam pada Safira dan keluarganya. Dorongan nafsu Qadrii lah yang kemudian mencelakakan Safira, bahkan membantai keluarganya. Semenjak itu, kondisi kampung itu jadi makin tak karuan.

Sementara itu, Husayn dan Hasyim mulai dikenal namanya sebagai pahlawan gagah berani. Julukan sebagai ‘Sang singan perkasa dari Kohina’ disematkan pada Husayn setelah dia berhasil membunuh Zoreth, pemimpin penyamun. Saya suka gaya sang pengarang saat mendeskripsikan pertempuran antara Husayn dan Zoreth. Kesannya seperti saat kita membaca karya silat ala Kho Ping Hoo. Sayangnya, pasukan Husayn kocar-kacir saat harus berhadapan dengan maqtuf Kharkhani, si Sahir, penyihir hitam yang dianggap sebagai yang dipertuan agung para penyamun di daerah itu. Husayn sendiri bahkan hampir saja terbunuh kalau saja tidak ditolong sosok misterius dan seorang tua baik hati yang tinggal di tengah hutan.

Setelah sembuh dari lukanya, Husayn pun kembali ke kampung halamannya. Tak disangka, sekarang tempat itu menjadi makin suram dan Qadrii telah menjadi kepala kampung. Karena tak menyukai sifat Qadrii yang tamak dan licik, Husayn pun menampik tawaran Qadrii untuk bekerja di tempatnya. Tapi, hati Husayn pun langsung remuk redam kala Qadrii memberitahukan bahwa Safira telah meninggal. Janji Husayn untuk menjemput Safira tak bisa terlaksana.

Entah karena pengaruh hatinya yang hancur, Suatu malam, Safira muncul dalam mimpi Husayn dan mengungkap apa yang terjadi pada dirinya. Karena mempercayai mimpinya itu, Husayn dengan gegabah berupaya membunuh Qadrii. Usaha Husayn tak berhasil. Dia hanya berhasil membunuh anak buah Qadrii. Akibat peristiwa itu, Husayn pun dikejar-kejar polisi. Nasib akhirnya mempertemukan Husayn dengan sang kepala polisi yang tak lain adalah Hasyim. Disinilah nilai persahabatan menjadi pertaruhan diantara kedua sahabat tersebut. Hasyim yang tersulut emosinya pun kelepasan tangan menancapkan pedangnya ke tubuh Husayn.

Sampai disitu, kisah sang pendongeng berakhir. Apakah Husayn benar-benar terbunuh ? saat pertanyaan itu keluar dari mulut seorang anak kecil, secara misterius, sang pendongeng mengatakan, “Tidak, cucuku Nabila…tentu saja tidak. Kecuali Allah memang menghendakinya demikian”

Itulah kisah indah yang terjalin di buku ini. Buku ini memang tak menawarkan dunia antah berantah layaknya Lord of The Ring. Alur dan plotnya cukup sederhana dan mudah dinikmati. Tokoh-tokohnya tak sesempurna pahlawan Hollywood karena menunjukkan kebaikan dan kejelekannya. Saya sendiri sebenarnya menyukai plot yang lebih rumit. Sesuai mental khas manusia Indonesia, kalau bisa diperumit kenapa harus dipermudah ??! Hehehhe

By : Farisol – ReadincCrew

Note : tulisan ini juga ada di Blog pribadi : Farisol.wordpress.com

 

 

Posted in Apresiasi & Resensi | Leave a Comment »

RESENSI BUKU : MEDICI DAGGER

Posted by readinc pada Juli 6, 2008

Judul : The Medici Dagger
Penulis/Penerjemah : Cameron West/Richard Haryoseputro
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Maret 2007
Tebal : 408 hl ; 18 cm

 

Dalam dunia novel genre suspense, saya rasa nama Cameron West belum seterkenal nama Dan Brown, penulis Da Vinci Code yang pertama terbit tahun 2003. Tapi, yang jelas, Cameron telah terlebih dahulu menulis tentang sebuah petualangan menyusuri Vatican untuk mengejar ‘harta’ terpendam Leonardo Da Vinci. Kisahnya tertuang dalam sebuah novel berjudul “THE MEDICI DAGGER”

Kisah dalam buku ini dimulai dengan sebuah prolog yang menceritakan bagaimana seorang pria dari Vinci di suatu malam pada tahun 1491, berhasil menemukan sebuah formula bahan logam yang amat sangat ringan, tak bisa dirusak dan bila dibentuk menjadi sebuah belati, ketajamannya sangat luar biasa. Pria tersebut tak lain adalah Leonardo da Vinci, sang ilmuwan jenius. Karena takut penemuannya itu akan jatuh ke tangan yang salah, Da Vinci pun menyembunyikan penemuannya. Ia berharap, suatu saat nanti, seseorang akan menemukannya dan menggunakannya untuk kebaikan umat manusia. Itulah awal pangkal kisah dalam buku THE MEDICI DAGGER.

Diceritakan kemudian, beratus tahun telah berlalu dan misteri belati yang diberi nama belati medici, diambil dari nama majikan Leonardo saat itu, tetap terkubur bersama waktu. Hingga akhirnya, beberapa pihak mendapatkan petunjuk tentang belati tersebut. Terjadilah perebutan dokumen yang dibuat oleh Leonardo sebagai petunjuk menuju tempat penyimpanan belati tersebut. Perebutan itu memakan korban seorang kurator di National Gallery beserta istrinya yang tewas dibunuh oleh kelompok ambisius yang dimotori oleh seorang Miliarder senjata di Jerman, Werner Krell dan anak buahnya, seorang maniak pembunuh bernama Nolo Tecci. Namun anak sang kurator bisa menyelamatkan diri dari upaya pembunuhan itu dan akhirnya dia menjadi seorang stuntman di Hollywood.

Lama waktu berlalu dan sang anak, Reb Barnett, masih menyimpan trauma masa lalunya. Hingga akhirnya, seorang pilot pesawat yang dulunya diutus ayahnya untuk mengambil dokumen petunjuk Leonardo da Vinci muncul kembali dan meminta Reb untuk meneruskan usaha ayahnya mencari jejak Belati Medici. Mulanya Reb menolak namun kenangan masa lalu membulatkan tekadnya untuk mengejar warisan pekerjaan ayahnnya yang belum terselesaikan.

Mulailah kemudian aksi petualangan Reb Barnett untuk memecahkan teka-teki Lingkaran Kebenaran yang dibuat oleh Leonardo dengan dibantu seorang wanita keturunan Italy bernama Antonia “Ginny” Ginevra Ginelli. Usaha pencarian membawa mereka hingga ke Italia hingga Amerika Upaya pencarian mereka tentu saja tidak berjalan mulus. Ada pihak lain yang juga menginginkan belati tersebut. Salah satunya adalah musuh lama Reb, Werner Krell dan Nolo Tecci. Mereka berusaha menghalangi Reb dan merebut dokumen petunjuknya. Werner krell amat berambisi mendapatkan penemuan Leonardo tersebut untuk melengkapi upayanya membuat senjata bom pintar (mungkin maksudnya peluru kendali) pesanan penguasa Taiwan, Soon Ta Ke. Untuk itulah dia mengutus Nolo Tecci sang maniak pembunuh untuk memburu Reb dan mendapatkan belati Medici. Selain itu, ada pula biro rahasia bernama GIBRALTAR yang juga menginginkan belati tersebut untuk alas an yang bertentangan dengan Krell.

Kedua pihak tersebut bergantian menghalangi Reb dan Ginny. Namun Reb terus menerus berhasil lolos dari cengkeraman mereka. Dalam upaya kejar-mengejar itu pula, Reb dan Ginny berpacu untuk memecahkan misteri Lingkaran Kebenaran. Berkat bantuan seorang teman masa lalu Reb, Mona, teka-teki lingkaran kebenaran bisa terungkap setengahnya. Namun, setelah itu, Ginny dan Reb tertangkap oleh kawanan Nolo Tecci. Hampir saja Reb tewas terpanggang di dalam rumahnya yang dibakar. Untung Reb kembali berhasil meloloskan diri dan bekerja sama dengan GIBRALTAR untuk memecahkan sisa teka-teki Leonardo. Reb harus berpacu dengan waktu untuk mendapatkan belati tersebut sebelum didahului oleh Krell yang telah menyekap Ginny. Akhirnya semua misteri pun terpecahkan dan Vatican adalah tempat harta karun itu berada. Ketika belati tersebut didapat, ternyata Reb dikhianati oleh pemimpin GIBRALTAR yang ternyata adalah sekutu Tecci. Belati pun jatuh ke tangan mereka. Hampir saja Reb terbunuh kalau saja pemimpin GIBRALTAR yang asli muncul menyelamatkan nyawa Reb. Terkuaklah kemudian misteri persekongkolan yang mewarnai perebutan belati medici itu.

Dengan berbekal informasi yang berhasil dikorek dari mulut anak buah Nolo Tecci, Reb dengan nekatnya berusaha menyelamatkan Ginny yang ditawan oleh Werner Krell di gerbong kereta mewahnya. Aksi penyelamatan pun terjadi dan seperti tipikal cerita pada umumnya, para penjahatnya berhasil dibinasakan. Cerita pun berakhir dengan bahagia.

Bagi anda yang menyukai cerita-cerita petualangan, novel karya Cameron ini cukup layak untuk dibaca. Alurnya runtut dan cukup ringan untuk dinikmati. Hanya saja, ceritanya terkesan terlalu biasa. Kita akan kesulitan menemui ketegangan dan kerumitan ala Da Vinci Code disini. Tak ada pameran teknologi mutakhir, aksi spionase yang super canggih ataupun hal yang kontroversial. Semuanya terasa hanya mengalir begitu saja. Background sang penulis dalam bidang psikologi memang muncul dengan kentara dalam buku ini. Namun kita bisa menebak dengan mudah bagaimana cerita ini akan berakhir.

Saya merasa saat membaca buku ini kita seperti sedang menyaksikan film jagoan Hollywood. Apa mau dikata, penulisnya sendiripun menyatakan bahwa sosok Tom Cruise lah yang menginspirasi tokoh utama cerita ini, Reb Barnett. Mungkin buku ini memang tidak ditujukan buat para fans berat novel suspense yang sering ceritanya sangat njelimet itu. Novel ini akan sangat cocok buat ‘pemula’ cerita suspense yang mengharapkan cerita yang ringan, renyah, cukup bumbu petualangan dan aksi baku tembak serta akhir bahagia layaknya film Hollywood.

Anda suka yang renyah-renyah ? monggo dicoba THE MEDICI DAGGER…

 

By : Farisol – ReadincCrew

Note : tulisan ini juga ada di Blog pribadi : Farisol.wordpress.com

Posted in Apresiasi & Resensi | Leave a Comment »

RESENSI BUKU : NAKED TRAVELLER

Posted by readinc pada Juli 6, 2008

Judul : Naked Traveller
Penulis : Trinity
Penerbit : C | Publishing
Cetakan : I, Juni 2007
Tebal : xii + 282 hl ; 20.5 cm

Buku yang satu ini tak sengaja saya lihat sewaktu mengunjungi salah satu toko buku di suatu pusat perbelanjaan di bilangan kuningan Jakarta. Karena dari dulu memang terobsesi travelling ke seluruh penjuru dunia (hiks..kapan yah bisa kesampaian), tanpa pikir panjang buku ini langsung saya beli. Saya menduga buku ini akan banyak mengisahkan pengalaman keliling dunia, dan saya sama sekali tidak salah. Malah buku ini melebihi ekspektasi awal saya, karena buku ini benar-benar luar biasa gila !

kenapa gila?

Karena gaya cerita sang penulis yang cuek, centil (halah..) dan lucu banget. Buku ini sebenarnya adalah kumpulan tulisan mbak Trinity yang pernah nangkring di blognya : http://naked-traveler.blogspot.com. Buku ini menambah panjang daftar buku yang diambil dari blog, setelah sebelumnya buku sejenis semacam “Kambing Jantan”-nya Raditya Dika cukup sukses mencuri perhatian di pasar buku Indonesia.

Di dalam buku ini, mbak Trinity memang bercerita panjang lebar tentang pengalamannya menjelajah seluruh dunia. Maklumlah, beliau konon sudah mengunjungi hampir semua provinsi dan 33 negara di dunia. Ceritanya terhampar luas dari saat pribadi di toilet hingga tips saat jadi seorang traveler. Semuanya disajikan dengan bahasa yang ringan dan menghibur. Tapi jangan salah, buku bersampul biru ini banyak memuat hal menarik disana sini yang mungkin tak akan diketahui bila kita tak mengalami sendiri. Jadilah buku ini sebagai buku petunjuk menjadi seorang traveler sekaligus bacaan seru saat kita sedang melakukan traveling.

Pada sambulnya, tertulis tag line buku ini adalah, ‘Catatan Seorang Backpacker Wanita Indonesia Keliling Dunia’. Menurut Wikipedia, Backpacker artinya,’ budget travelling using hostels and public transport‘. Karena itulah, dalam buku ini, anda tak akan menemukan petunjuk menjadi seorang turis kaya yang mampu bepergian dengan apa saja, menginap di hotel ataupun mengikuti bis turis yang biasa di arrange oleh biro travel pada umumnya. Anda harus menjadi seorang ‘kere’ di negeri orang. Anda harus siap tidur dimana saja, menghemat tiap sen yang ada, membatasi barang yang dibawa agar bisa merasakan apa yang telah dialami oleh Mbak Trinity. Karena itu adalah intinya menjadi seorang Backpacker dan itu pulalah yang membuat buku ini menjadi sangat menarik. Dengan segala keterbatasannya sebagai backpacker, tentunya banyak hal yang harus dilakukan untuk menyiasati keterbatasan kondisi. Disinilah muncul berbagai peristiwa lucu dan menarik.

Simak saja pengalaman mbak Trinity ketika bertemu ‘malaikat’ karena tidur di dekat landasan pesawat atau cerita konyol soal hotel yang bintangnya kebanyakan hanya gara-gara alasan konyol, kesalahan saat menyablon spanduk…

Dari buku ini, banyak pengetahuan menarik yang bisa didapat, seperti macam-macam alat transportasi, airport, atau tips mengenai apa yang penting untuk kita bawa saat menjadi seorang backpacker. Saya juga baru tahu bahwa rasisme memang masih ada di eropa, orang Filipina yang suka menukar huruf p, f dan v, atau orang barat yang terlalu ‘katro’ hingga menganggap pohon pisang seperti keajaiban dunia ke-11. Tak kalah penting, info tentang tempat-tempat bagus di seluruh penjuru dunia.

Ada beberapa bagian yang membuat saya senyum-senyum sendiri sambil geleng-geleng kepala seperti saat mbak Trinity bercerita tentang perbandingan pramugari berbagai maskapai perbandingan atau cerita mengenai kelakuan ‘gak ketulungan’ dari para TKI kita. Tapi yang paling menarik dan jadi favorit saya adalah bagian mengenai becak di landasan pesawat. Bayangkan, landasan airport ternyata bisa digunakan bersama antara pesawat dan becak !!! Lucunya lagi, ada juga airport yang sampai harus membunyikan sirine keras-keras untuk mengusir penggembala kambing dan anak-anak yang nekat main bola di tengah landasan. Edan…!

Ehh, selain itu semua, ada fakta yang menarik mengenai buku ini. Ternyata buku ini sempat ditarik dari peredaran karena beberapa contentnya dianggap kurang pantas untuk masyarakat luas. Setelah bagian tersebut disunat, barulah buku itu kembali di re-launch….

Jadi seperti kata mbak Trinity, “Buruan beli yaa… yang banyak sekalian, mumpung masih hangat dan belum ada yg protes lagi.” Tapi ingat ya, hati-hati bila anda memutuskan untuk membacanya. Bisa-bisa seketika kita pengen segera resign dari pekerjaan dan berangkat traveling, seperti yang saya rasakan saat ini..hehehe

Monggo dipun pirsani bukunipun….. D

By : Farisol-ReadincCrew

Note : Tulisan ini juga ada di Blog pribadi : Farisol.wordpress.com

Posted in Apresiasi & Resensi | Leave a Comment »

RESENSI BUKU : SAINS HARRY POTTER

Posted by readinc pada Juli 6, 2008

Judul Buku : SAINS HARRY POTTER

Pengarang : Roger Highfield

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Tahun terbit : juli 2006 (buku asli © 2002 )

Tebal : 376 halaman

ISBN : 979-91-0048-8

 

Di suatu Minggu siang, Saya sedang berjalan-jalan di salah satu mall yang ada di Jakarta. Seperti biasa, tempat favorit yang selalu saya kunjungi adalah toko buku. Saat itu, Saya ingat untuk mengecek buku-buku baru apa yang terbit belakangan itu. Ketika menyusuri jajaran rak buku-buku baru tersebut, mata saya tertumbuk pada sebuah buku. Bukan cover sederhananya yang menarik perhatian Saya. Justru judulnya lah yang menggelitik rasa ingin tahu saya, ” SAINS HARRY POTTER”. Sebagai seorang yang bergelut dalam dunia sains dan tak pernah melewatkan satu seri pun buku-buku Harry Potter, tentu saja judul tersebut amat menggoda saya. Kebimbangan segera melanda hati saya, sebagaimana kebimbangan seorang pegawai bergaji pas-pasan yang melihat hal yang diingininya pada akhir bulan. Namun akhirnya saya menyerah pada godaan itu dan melayanglah sudah selembar 50 ribuan dari kantong. Saya sadar bahwa faktor judul inilah yang mendorong keputusan saya untuk membeli buku tersebut. Saya jadi curiga, jangan-jangan penulisnya memang sengaja memasang  judul itu untuk menarik perhatian terhadap bukunya. Andaikan begitu, saya tidak menyalahkannya. Buku memang seharusnya menarik sejak awalnya. Lagipula, penggemar berat Harry Potter mana yang melewatkan kesempatan untuk mengetahui bahwa dunia sang jagoan ternyata bisa dijelaskan secara logis melalui sains, sebagaimana tagline buku ini, ”Menjelaskan Sihir dengan Sains”.

 

KESAN PERTAMA BEGITU MENGGODA, SELANJUTNYA…….

 

Sayangnya, semangat menggebu saat membeli buku ini sempat digerus oleh kesibukan pekerjaan. Baru sebulan kemudian saya mulai membaca buku setebal 376 halaman ini. Hal pertama yang saya perhatikan saat membuka buku ini adalah ukuran font-nya yang cukup kecil. Dengan tulisan seperti itu, jumlah halaman yang cukup tebal dan materi yang sedikit membuat kening berkerut, Saya jadi yakin teman saya yang bukan orang sains akan sedikit kehilangan minat begitu membuka halaman buku yang penuh dengan tulisan ini.

Namun, Saya harus menghormati latar belakang sang penulis menyusun buku ini.”Saya suka buku-buku Harry Potter, tetapi mungkin alasannya tidak sama dengan kamu. Buat saya, semua guna-guna, mantra, kutukan, dan sihir lainnya dalam karangan J.K. Rowling yang mengagumkan itu sepertinya merupakan tantangan bagi sains modern”, itulah komentar pertama Roger Highfield, si Penulis pada bagian awal buku. Sebagai seseorang yang pernah belajar sains, Saya bisa memahami sepenuhnya alasan editor sains harian The Daily Telegraph ini. Sudah sejak lama kita tahu betapa sains tumbuh dan terinspirasi oleh imajinasi manusia.

Lebih jauh lagi, buku ini mengajak pembacanya untuk menelusuri bagian-bagian dari dunia ajaib Harry Potter. Dengan lincahnya, si penulis menghubungkan dunia ajaib tersebut dengan dunia nyata melalui berbagai perkembangan sains mutakhir, baik yang sedang maupun yang akan dilakukan oleh para ilmuwan, yang disebutnya sebagai sihir dunia nyata. Saya tidak heran melihat begitu luas wawasan sang Doktor ini sehingga mampu membawa pembaca untuk melongok ke berbagai hasil penelitian ”penyihir-penyihir” zaman modern terkini. Cakupan sains yang ada di buku ini cukup luas, dari penelitian genetika hingga fisika kuantum, dari astronomi hingga psikologi modern. Hebatnya, semua itu masih bisa dikaitkan dengan berbagai keajaiban dunia ciptaan J.K Rowling. Siapa sangka, sapu ajaib bisa terkait dengan riset mutakhir tentang antigravitasi dan Fluffy, anjing monster berkepala tiga ternyata bisa saja tiba-tiba meloncat ke pekarangan rumah kita berkat perkembangan ilmu genetika yang menakjubkan sekaligus mengkhawatirkan.

Untuk membangun jembatan penghubung antara dunia imajinasi Harry Potter dengan sains, Highfield tidak sembarangan menulis. Berbagai teori dan referensi dibeberkan secara gamblang dan meyakinkan, sehingga Saya bisa membayangkan suatu saat nanti permainan Quidditch yang jadi favorit Harry Potter benar-benar bisa dimainkan, tentunya dengan beberapa modifikasi. Saya juga harus mengakui bahwa penjelasan dalam buku ini membuat saya sedikit khawatir pada perkembangan dunia genetika yang memungkinkan kepala Voldemort muncul dari belakang kepala saya, layaknya kepala Profesor Quirrel yang ditumpangi sang pangeran kegelapan yang namanya tak boleh disebut itu. Saya juga agak sedikit tersenyum saat membaca salah satu judul bagian dari buku ini yang cukup menggelitik, “Cara Membuat Hagrid”. Well, ternyata Hagrid juga bisa dibuat ?!

 

SKEPTISME SANG ILMUWAN

 

Dunia Harry Potter jelas dunia ajaib, dan bagi sebagian kebanyakan orang, dunia sains ternyata juga tak kalah ajaibnya. Saya kira itulah yang ingin ditunjukkan Roger Highfield melalui bukunya ini. Dengan keluasan wawasan dan keluwesan bertutur, penulisnya cukup mampu menuntun pembaca dalam suatu tur mengunjungi dunia ajaib ilmu pengetahuan. Menurut saya, si penulis cukup mampu menterjemahkan bahasa “membosankan” yang ada di laporan-laporan ilmiah ke dalam suatu tulisan popular yang lebih “lunak” dan lebih bisa dipahami orang awam. Saya acungkan jempol atas usaha sang penulis untuk membuat dunia sains yang biasanya “menyeramkan” menjadi dunia yang “menakjubkan”, atau paling tidak kesan “seram”-nya menjadi sedikit lebih “lembut”.

Hal lain yang saya temui dari buku ini adalah pandangan skeptis seorang ilmuwan tentang keajaiban dalam arti yang diharapkan oleh penggemar dunia ajaib harry potter pada umumnya. Meski penulisnya mengakui ketertarikannya pada kisah Harry, jangan terlalu mengharapkan untuk mendapatkan justifikasi bahwa penyihir itu memang ada dan mampu menghadirkan berbagai makanan lezat hanya dengan ayunan tongkat ajaib. Tulisan dalam buku ini benar-benar seperti yang bisa diharapkan dari seorang ilmuwan, rasional dan logis. Jangan heran bila menjumpai banyak keterangan yang menyatakan bahwa  penyihir, roh, hantu, fenomena kerasukan dan berbagai hal irasional lainnya hanyalah khayalan otak manusia belaka. Parahnya, agama dianggap sebagai salah satu diantara hal irasional tersebut, meski disebutkan secara implisit. Saya kira ini adalah suatu hal yang biasa kita jumpai dari para ilmuwan barat yang seringkali terjebak dalam sekulerisme. Bagi mereka, agama adalah urusan yang terpisah dari urusan rasional. Agama tak lebih dari buah khayalan manusia yang hanya hidup dalam keyakinan manusia. Prinsip ilmuwan jelas, hal yang tak dapat dibuktikan secara ilmiah berarti hanyalah khayalan belaka. Tak ada yang bisa membuktikan Tuhan melalui suatu penelitian ilmiah, jadi kemungkinan terburuk dalam pandangan skeptik para ilmuwan barat tersebut, Tuhan jangan-jangan juga karangan pemikiran manusia. Kalaupun ada suatu keajaiban yang terjadi di dunia, bagi mereka itu bisa saja tak lebih dari suatu masalah probabilitas. Saya kira fenomena rasionalisasi segala sesuatu seperti ini sering terjadi di kalangan ilmuwan, walau mereka sadar akan keterbatasan pikiran mereka. Hal ini lah yang kemudian mendorong mereka untuk menafikan agama, meski itu tak berarti mereka tak beragama. Sekulerisme memang hal yang sering menghantui kalangan ilmuwan yang mengagungkan rasionalitas dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai agama mereka. Saya sendiri adalah orang yang hidup dalam dunia ilmu pengetahuan, tapi saya beruntung hidup dalam lingkungan yang menyadari bahwa ada banyak hal yang berada jauh di luar batas kemampuan pikiran manusia. Walau saya bukan termasuk orang yang percaya pada keberadaan dunia penyihir Harry Potter, tapi saya pribadi tak begitu setuju dengan pandangan sekulerisme penulis buku ini. Namun, itu bukan alasan bagi saya untuk mencampakkan buku ini. Buku ini tetap sangat bermanfaat, terutama untuk menunjukkan betapa ajaibnya dunia ilmu pengetahuan. Buku ini akan selalu mengingatkan pada saya optimisme akan berkembangnya ilmu pengetahuan manusia. Dan meski saya agak keberatan dengan beberapa kata-katanya, Saya menjumpai optimisme itu dalam sitiran pernyataan Sir James Frazer, ”….. Dalam telaah terkini, sihir, agama dan sains tidak lain hanyalah teori pemikiran belaka; dan sebagaimana sains telah menggusur pendahulunya, mungkin saja setelah ini sains itu sendiri akan digantikan oleh hipotesis lain yang lebih sempurna.”. Semoga sains terus berkembang dan menebarkan keajaibannya di muka bumi ini. Saya harap itu juga menjadi harapan anda, para pembaca ”SAINS HARRY POTTER”.

 

By : Farisol – ReadincCrew

Note : Tulisan ini juga ada di Blog Pribadi : Farisol.wordpress.com

Posted in Apresiasi & Resensi | Leave a Comment »

RESENSI BUKU : HUKUM MURPHY

Posted by readinc pada Juli 6, 2008

Judul : Murphy’s law / Hukum Murphy (original title : Why the toast always lands butter side down. The science of Murphy’s Law)
Penulis/Penerjemah : Richard robinson /Alpha M. Febrianto
Penerbit : Rahat Books
Cetakan : I, Februari 2008

Pernahkah anda merasa segalanya jadi kacau di saat-saat yang menentukan ? atau jengkel ketika alat yang anda perlukan selalu ‘mogok kerja’ di saat-saat paling diperlukan ? anda pun merasa seakan dunia sedang melawan anda. Jika begitu, berarti anda harus membaca buku karya Richard Robinson. Judul aslinya adalah “Why the toast always lands butter side down. The science of Murphy’s Law”. Mungkin karena terlalu panjang, maka versi Indonesianya disingkat menjadi “Hukum Murphy”.

Sesuai dengan judulnya, buku yang aslinya terbit pertama kali tahun 2005 ini membahas tentang sebuah teori ilmiah yang kontroversial dan universal. kontroversial karena isinya yang sangat sederhana tapi maknanya sangat dalam. Universal karena ‘wilayah kerja’nya bisa meliputi seluruh celah kehidupan manusia modern saat ini. Teori itu disebut dengan hukum Murphy. Bunyi hukum itu :

“APAPUN YANG BISA SALAH, AKAN SALAH”

“MENCOBA MEMPERBAIKI SESUATU HANYA MENJADIKANNYA LEBIH BURUK”

“TIAP UPAYA UNTUK TAK BERBUAT APA PUN, SUPAYA TAK AA YANG BISA KELIRU, AKAN KELIRU”

Saat membacanya, anda akan berpikir bahwa pencetus hukum ini adalah orang gila yang sudah putus asa. Tapi ini memang benar-benar hukum ilmiah. Tak kurang institusi semacam NASA juga menerapkan teori ini dalam operasionalnya. Masak sih ? kok bisa ?

Sebenarnya teori ini terkait erat dengan tingkah laku otak sebagai pusat pengatur data yang akhirnya bermuara pada tingkah polah manusianya. Richard berusaha menjelaskan secara runtut bagaimana otak berkontribusi besar atas segala kesalahan dan tindak tanduk kita yang paling tak masuk akal sekalipun.

Pembahasan dimulai dengan bagaimana proses masuknya data melalui berbagai indra yang kita punyai. Hal yang luar biasa adalah bahwa indra kita hanya meloloskan sebagian kecil dari seluruh data yang diterimanya dan mengacuhkan 99% data lain yang dinilai tak penting. Jika tidak, kita akan dibanjiri tsunami data yang masuk ke otak. Selanjutnya otak yang akan merangkai, jika perlu menambal berbagai data yang dianggap sesuai hingga membentuk fakta. Hasilnya tentu adalah fakta versi yang kita inginkan. Tak heran muncullah istilah, “Kita hanya mempercayai apa yang kita inginkan”.

Setelah data masukan terkumpul, otak mulai bekerja dengan menetapkan ukuran / nilai terhadap data tersebut sesuai dengan ukuran kita sendiri. Untuk itu, tubuh kita dilengkapi berbagai perangkat yang sayangnya juga bisa dipengaruhi oleh kondisi luar. Dari sinilah muncullah berbagai masalah seperti jet lag, berbagai ilusi optic, serta perasaan terhadap waktu yang berjalan terlalu cepat. Kemudian otak mulai menyimpan berbagai data itu sebagai kepingan teka-teki yang membentuk suatu fakta. Sayangnya, ingatan tak tersimpan secara ‘rapi’. Tubuh kita memang didesain dengan sangat canggihnya hingga memungkinkan fleksibilitas sangat tinggi. Dengan begitu, pengetahuan manusia bisa terus berkembang. Namun di lain sisi, otak bisa secara kacau merangkai kepingan teka-teki itu. Jadilah fakta baru yang seringkali sangat membingungkan. Contohnya adalah peristiwa de javu. Buku ini juga mengungkap bahwa otak manusia lebih mudah menyimpan penderitaan alih-alih kesenangan dan wajah alih-alih nama.

Kekacauan otak dalam merangkai potongan ingatan ini juga lah yang seringkali membuat manusia selalu mencari pembenaran atas segala tindakannya. Jika sudah begitu, manusia bisa bertindak atau meyakini sesuatu yang terasa tak masuk akal, meski sebenarnya proses di lakukan di otak yang merupakan sumber akal. Kemampuan otak untuk memaksakan rangkaian kepingan yang tak sesuai tersebut didukung oleh perangkat yang juga telah tersedia secara alami. Alat ajaib tersebut adalah emosi. Penelitian membuktikan bahwa pikiran pun ternyata bisa dengan mudahnya disetir oleh emosi. Karena itulah ilmuwan besar cenderung meminggirkan emosi dalam upaya penelitiannya terhadap dunia benda mati. hasilnya, karya ilmiah mereka luar biasa. Mereka mampu menciptakan berbagai penemuan. Bahkan yang paling mematikan sekalipun hanya karena mereka sanggup melakukannya. Itulah yang terjadi pada para penemu bom hydrogen, bom nukllir dll. Peminggiran emosi di kalangan ilmuwan itulah yang kemudian memunculkan istilah profesor linglung dan menjelaskan kenapa ilmuwan hebat cenderung berpenampilan eksentrik. Idealnya, kemampuan sains memang dibarengi dengan pemahaman emosional, terutama nurani. Tanpa emosi, manusia memang bisa jadi luar biasa. Tapi tanpa emosi, manusia sekaligus juga kehilangan gairah hidup, karena hidup dan mati jadi kehilangan makna.

Selanjutnya, hukum Murphy masuk ke daerah social. Penelitian bertahun-tahun menunjukkan betapa berbedanya manusia saat sendiri dan ketika berada dalam suatu komunitas. Richard menjelaskan tentang fenomena ini melalui sebuah teori yang didasarkan pada apa yang disebut sebagai saraf-saraf cermin. Mereka adalah satuan dasar yang memicu tingkah laku manusia dalam suatu lingkungan social. Keberadaan saraf-saraf cermin ini membuat manusia cenderung mampu meniru apa yang ada di sekitarnya. Contoh gampangnya adalah tingkah kita yang mengernyit saat melihat orang lain sedang disuntik seakan-akan kita merasakan sakit orang tersebut. Implikasi saraf cermin tak hanya sampai disitu. Dari situlah muncul kecenderungan manusia untuk selalu mengikuti tren yang berlaku di masyarakat, betapa pun konyol atau tak masuk akalnya.

Si pengarang buku ini juga menjelaskan betapa tak sempurnanya manusia dan betapa konyolnya mereka saat berhubungan dengan dunia benda mati. Tak peduli seberapa modern manusia sekarang, mereka tetap cenderung memperlakukan benda mati seakan memiliki nyawa sehingga memperlakukan mereka seakan-akan bernyawa. Misalnya saat kita dengan teganya menyalahkan dan memaki-maki computer yang tiba-tiba crash saat dipergunakan untuk mengerjakan suatu tugas maha penting. Berbagai mitos-mitos konyol juga dibongkar dalam buku ini.

Sebagai buku sains popular, saya berani bilang, buku ini memang gampang dicerna. Penulisnya pandai menyampaikan berbagai fakta ilmiah yang saya yakin pasti aslinya sangat rumit menjadi pengetahuan popular yang mudah dipahami. Buku ini juga sangat padat akan berbagai fakta-fakta mencengangkan sekaligus membuat kita tersenyum karena sifatnya sangat membumi. Tak banyak kelemahan yang saya temukan dalam buku ini. Saya mungkin sedikit merasa cara penulis bercerita yang terkadang melompat-lompat bisa agak membingungkan pembacanya. Terkesan juga penerjemahan buku ini seperti menemui kendala kala harus menjelaskan sesuatu yang tak sesuai budaya kita. Akibatnya, saya terkadang mengernyit tak mengerti di beberapa bagian yang kelihatan janggal. Penyebabnya mungkin perbedaan budaya kita dengan yang ada di negeri pengarangnya sebagai efek samping dari usaha si penulis untuk lebih membumi. Hal kecil yang sedikit mengganggu buat saya (karena saya berusaha membuat review buku ini) adalah perbedaan versi judul yang tertera di cover depan dan cover dalam buku ini. Di cover depan, jelas tertulis, “MURPHY’s LAW” sementara di bagian dalamnya disebutkan judul buku ini adalah “HUKUM MURPHY”. Saya tahu kalau keduanya punya arti yang sama, tapi kenapa harus dibuat berbeda ? Saya duga, pembuatnya orang yang berbeda. Meski begitu, kualitas buku ini saya rasa tak berkurang. Saya sangat salut pada kemampuan penulis ‘menerjemahkan’ karya ilmiah menjadi karya popular. Itu tak mudah. Butuh kemampuan bercerita yang baik sekaligus pemahaman akan sebuah karya ilmiah. Karena itu, tanpa ragu saya rekomendasikan buku ini pada semua orang agar kita bisa lebih memahami otak kita ini yang terkadang tak masuk akal..

By : Farisol – ReadincCrew

Note : Tulisan ini juga ada di Blog pribadi : Farisol.wordpress.com

Posted in Uncategorized | Leave a Comment »

RESENSI BUKU : DIMSUM TERAKHIR

Posted by readinc pada Juli 5, 2008

Judul : Dimsum Terakhir
Penulis : Clara Ng
Penerbit :
Cetakan :

 

Cina !

Jika mendengar kata itu, ada banyak persepsi yang terlintas di benak tiap orang. Tak jarang persepsi itu menjurus ke arah negative.  Penyebabnya tentu adalah kenyataan yang membuktikan bangsa ini adalah salah satu bangsa dengan survivalitas yang begitu tinggi. Hampir di Negara mana saja pasti ada suku bangsa yang satu ini. Kawasan Pecinan atau Chinatown menjadi bagian dari napas kehidupan di berbagai kota di seluruh dunia. Mereka punya sifat istimewa yang sudah dikenal umum, yakni ulet, pekerja keras dan menjunjung tinggi ikatan kekerabatan.  Tak jarang, sifat-sifat tersebut mengantarkan mereka berhasil secara ekonomi. Keberhasilan tersebutlah yang membuat orang berpikir negative pada mereka karena mereka merasa dikalahkan oleh bangsa Cina. Timbullah kemudian berbagai perlakuan yang boleh dikatakan berbau rasisme. Tak terkecuali Indonesia yang dulunya sempat agak paranoid dengan kaum keturunan Cina. Puncaknya terjadi saat kerusuhan Mei 1998. Kini, pembedaan itu mulai dikikis oleh pemerintah pasca reformasi. Hal itu mendorong beberapa orang menggugat perlakuan terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia, salah satunya melalui media buku. Ada yang secara menohok dalam bertutur. Tapi ada juga yang secara implicit mengeluarkan sindirannya. Buku Dimsum Terakhir karya Clara Ng termasuk yang terkesan secara sambil lalu saja mengeluarkan sentilan tajam mengenai nasib kaum keturunan. Tapi inti cerita dalam buku tersebut, saya yakin, tak dimaksudkan untuk menggugat pahitnya rasisme. Seperti endorser yang dicantumkan dalam buku ini, episentrum ceritanya justru terletak pada nilai kehidupan dan kekeluargaan. Rasisme hanyalah bumbu penyedap dalam kisah ini.

Buku ini mengisahkan tentang 4 orang bersaudara, atau lebih tepatnya 4 saudara kembar. Kepercayaan umum di masyarakat bahwa saudara kembar cenderung memiliki banyak kesamaan dan ikatan batin yang lebih kuat daripada mereka yang tidak kembar. Tapi itu tak begitu berlaku untuk 4 putri kembar Nung Atasana dan Anas, pasangan keluarga yang kebetulan adalah keturunan tionghoa. Keempat saudara kembar tersebut masing-masing bernama Tan Mei Xia atau Siska, Tan Mei Yi atau Indah, Tan Mei Xi atau Rosi dan Tan Mei Mei atau Novera. Uniknya nama Indonesia keempat orang tersebut diberikan oleh pembantu mereka, Mbok Hetih. Semenjak kecil, masing-masing putri Nung tersebut sudah menunjukkan karakter yang unik dan saling bertolak belakang. Siska yang perfeksionis, rasional dan mandiri. Indah yang kaku tapi sentimental. Rosi yang ceria dan ‘kelaki-lakian’. Novera yang plegmatis tapi keras kepala. Perbedaan mencolok tersebut terbawa hingga dewasa dan membawa mereka hidup terpisah-pisah. Siska mengurus perusahaannya di Singapura. Indah yang wartawan sekaligus penulis buku di Bekasi. Rosi yang memilih tinggal di Puncak mengurus usaha bunga dan terakhir Novera yang merasa puas menjalani profesi sebagai guru Tk di Yogyakarta. Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Kondisi itu mungkin akan tetap seperti itu jika tak terjadi hal yang secara tiba-tiba membelokkan jalan hidup mereka sejenak. Adalah sakitnya Nung, sang Papa, yang membuat keempat saudara tersebut terpaksa kembali ke rumah orangtuanya untuk menemani hari-hari terakhir sang Papa yang sudah divonis tak akan bertahan hidup lama. Kebersamaan kembali itulah awal mula dari kisah ini. Friksi, pertengkaran, masalah dan berbagai kejadian pun mewarnai keseharian mereka akibat perbedaan karakter. Tak hanya itu, sesekali adegan lucu pun terjadi, seperti saat Rosi yang dengan bangga dan cueknya bertengkar dengan sopir angkot hingga berurusan dengan polisi atau ketika Indah yang nekat pergi ke toko obat Cina tanpa mengetahui obat apa yang dia cari. Rekaman peristiwa keseharian itulah yang diungkap dalam alur cerita ini. Secara perlahan-lahan pula, kepingan-kepingan kenangan dan masa lalu keluarga itu diungkap. Dari situ mulai terlihat bahwa masing-masing dari keempat kembar tersebut ternyata membawa beban dan rahasia yang selama ini terpendam. Mulai dari Siska yang hidupnya tak sesempurna yang terlihat, Indah yang diam-diam menjalin hubungan cinta dengan seorang pastur hingga hamil, Rosi yang merasa terpenjara dalam tubuh perempuan dan memiliki hubungan dengan sesama perempuan, serta Novera yang mengalami krisi kepercayaan diri berat lantaran rahimnya yang diangkat akibat kanker rahim yang menyerangnya. Tapi di luar itu semua, ternyata mereka punya ikatan kuat sebagai keluarga. Apalagi latar belakang mereka yang keturunan Tionghoa membuat mereka harus bersatu menghadapi perlakuan tak sedap dari orang lain. Di atas itu, keluarga mereka memiliki sebuah tradisi unik yang menjadi nilai dan tali perekat sebagai sebuah keluarga. Tradisi itu adalah membuat dan memakan dimsum bersama-sama di hari tahun baru cina. Meski sempat terlupakan, rupanya tradisi itu pulalah yang akhirnya membuat mereka semua sadar akan nilai sebuah keluarga. Terlebih, mereka kemudian harus merasakan pertama kalinya menikmati dimsum itu di rumah sakit beberapa saat setelah kehilangan orang yang sangat mereka cintai.

By : Farisol-ReadincCrew

Note : Tulisan ini juga ada di Blog pribadi : Farisol.wordpress.com

Posted in Apresiasi & Resensi | Leave a Comment »